Cerpen Horor - Pernikahan Ghaib Satu Suro

Cerpen Horor - Pernikahan Ghaib Satu Suro

Pernikahan Ghaib Satu Suro

Malam Satu Suro Bagi Masyarakat Jawa

“Sudah nduk.. nurut yo, untuk kali ini Ibuk ndak izinkan kamu pergi”. Ucap Ibuku tegas.

“Tapi Buk.. Luli harus pergi karena Luli udah terima DPnya”. Balasku meyakinkan Ibuk.

Beginilah Ibuku yang seringkali bersikap khawatir berlebihan, tetapi aku tau semua itu karena beliau teramat mencintaiku—anaknya. Dan disini aku masih akan berusaha keras untuk meyakinkan Ibuk agar mengizinkanku pergi merias pengantin di Dusun Kemuning sebab job ini sudah lama ku nantikan mengingat 2 tahun terakhir ini kami semua berada dalam masa pandemi sehingga dilarang mengadakan resepsi pernikahan yang berpotensi menimbulkan keramaian. Selain itu juga sebagai MUA aku harus profesional, meskipun aku tau ada istilah ‘pamali’ bagi orang yang melaksanakan pernikahan. Tetapi yang terpenting bagiku adalah niat baikku untuk menolong orang, Insyaallah Gusti Allah akan selalu melindungi.

“Ada apa to Buk e.. Luli.. masih shubuh kok sudah rame begini?”. Tanya Bapak heran.

“Ini lo Pak.. Luli mau minta izin untuk pergi merias dua hari lagi”. Jawabku dengan cepat.

“Dua hari lagi? Itu bertepatan dengan malam satu suro nduk? Kowe tau kan?”. Tanya Bapak lagi

“Inggih Pak.. Luli tau, tapi kan Pak.. Luli sudah terima DP-nya, Luli juga berniat baik untuk membantu orang saja Pak”. Ucapku pada Bapak memelas.

“Ya sudah.. Bapak izinkan kamu pergi. Jangan manyun gitu bibirnya”. Ucap Bapak.

“Be-beneran Pak? Bapak ngizinin Luli pergi? Terimakasih Bapakku”. Aku berucap sambil memeluk dan mencium pipi Bapak yang sudah banyak kerutan di sana sini.

“Iyo nduk.. tapi ada satu syarat dan kamu harus selalu mengingat pesan Bapak”. Ucap Bapak.

“Apa itu Pak? Luli akan melaksanakannya”. Tanyaku dengan mata berbinar.

“Dimanapun dan dalam keadaan apapun kamu nanti jangan pernah lupakan kewajiban 5 waktu. Kalau kamu menemui masalah atau kesusahan segera laksanakan sholat taubat. Dan satu lagi, di tempat hajatan nanti kamu jangan sampai memakan makanan apapun yang ada disana”. Bapak berucap dengan serius. “Buk, sekarang Ibuk belanja yang banyak dan masakin untuk bekal Luli dua hari lagi. Bawakan bekal yang banyak Buk”. Ucap Bapak kemudian pada Ibuk.

“Ah, Bapak.. kenapa Bapak izinkan Luli pergi. Ibuk khawatir loh Pak”. Ungkap Ibuk sedih.

“Sudahlah Buk.. anak kita akan baik-baik saja selama dia menuruti pesan perintah Bapak”. Balas Bapak pada Ibuk. “Dan kamu nduk, kamu pergi dengan Mira kan? Kalian berdua harus melaksanakan pesan-pesan Bapak tadi yo”. Tegas Bapak padaku sambil mengulum senyum.

“Siap laksanakan pesan Bapak!”. Balasku dengan semangat empat lima.


BACA JUGA : 5 Puisi Sedih Untuk Momen Bulan Ramadhan


“Lul, kenapa Bapak melarang kita makan makanan disana? Kan pasti makanan di tempat hajatan itu enak-enak Lul”. Tanya Mira saat di atas motor dalam perjalanan menuju Dusun Kemuning.

“Hemm.. aku juga tidak tau Mir. Yang jelas pasti Bapak punya alasan kuat dan kita turuti saja lah lagian Ibuk juga sudah membekali kita banyak”. Jawabku pada Mira, meski sebenarnya aku pun bertanya-tanya kenapa Bapak melarang kami makan makanan di lokasi.

Keanehan Mulai Terjadi 

Selang beberapa menit, tiba-tiba motorku mogok. “Yah.. sepertinya mogok Mir”. Keluhku.

“Waduh gimana dong Lul? Kita dorong aja yo sambil cari bengkel”. Mira menenangkan.

Setengah jam kemudian kami baru menemukan bengkel dan satu jam kemudian juga service motorku selesai. Kemudian kami melanjutkan perjalanan, karena target kami bisa sampai di tujuan sebelum petang. Sebab tujuan kami kali ini adalah kaki gunung Kawi.

“Lul, tanganku kayaknya mulai kram ini kedinginan. Kita istirahat dulu yo”. Sela Mira.

“Ah, iyo Mir kita cari warung untuk minum teh hangat kalo gitu”. Jawabku menyetujui.

“Mbok, teh panasnya 2 nggih”. Ucap Mira sambil meringis sakit karena kram di tangannya.

“Mir, habis ini aku saja yang nyetir yo gantian”. Ucapku pada Mira kasihan.

“Iyo Lul, nanti kalau aku sudah baikan kita gantian lagi nyetirnya”. Jawab Mira menyetujui.

“Oalah, cah ayu ini dari mana to sepertinya bukan orang sini”. Tanya si Mbok menyela obrolan kami sembari meletakkan dua gelas teh panas di depan kami.

“Ini Mbok.. kami dari Desa Asem sebenarnya, mau ke Dusun Kemuning. Ada job merias pengantin, kebetulan kami ini seorang perias pengantin”. Jawabku pada si Mbok.

“Dusun Kemuning? Ealah.. apa kau ndak salah alamat cah ayu?”. Tanyanya lagi.

Aku beradu pandang dengan Mira. “Ehm, sepertinya tidak Mbok”. Jawabku meyakinkan.

“Oalah.. sebab setau si Mbok kalau Dusun Kemuning itu tidak berpenghuni sudah 15 Tahun lamanya, sejak bencana alam saat itu. Apa kalian yakin mau kesana?”. Tanya si Mbok heran.

“O-opo Mbok? Ndak berpenghuni?”. Tanya Mira mulai khawatir.

“Yo, setau Mbok begitu. Tapi kalau kalian tetap mau pergi kesana yo ndak papa tapi kalian hati-hati saja. Jangan putus baca istighfar dan sholawat cah ayu. Nanti, sekira 1 jam dari sini kalian akan bertemu gubuk dari seorang penjaga Dusun Kenanga; Dusun yang berbatasan dengan Dusun Kemuning. Kalian bisa bertanya padanya”. Tutur si Mbok mengingatkan.

“Nggih Mbok, kalau begitu kami pamit dulu. Terimakasih sudah diingatkan”. Ucapku seraya menyalaminya secara bergantian dengan Mira sebagai bentuk ta’dhim.

Cerpen Horor - Pernikahan Ghaib Satu Suro

Setelah dari sini, kami kembali melanjutkan perjalanan ke Dusun Kemuning—kaki gunung Kawi. Dan benar saja, setelah melewati Dusun Kenanga—Dusun terakhir sebelum Dusun Kemuning kami melihat sebuah gapura yang menjulang tinggi dengan bertuliskan ‘DSN K-M-NING’. Apa itu artinya Dusun Kemuning? Ya, benar. Sepertinya itu memang tempatnya, tulisannya banyak hilang dimakan usia. Bangunan gapuranya juga sudah lusuh dipenuhi akar tumbuhan disana sini. Tepat di sebelah kanan gapura tersebut, terdapat sebuah gubuk tua namun masih tampak kokoh. Hanya saja atapnya terlihat banyak yang bocor.

“Mir, opo itu gubuk tua yang dimaksud si Mbok tadi yo?”. Tanyaku pada Mira yang celingukan.

“Mungkin iyo Lul, ini juga satu-satunya gubuk yang kita temui kan? Liat saja di sekeliling hanya pohon menjulang tinggi dan tebing saja yang ada”. Jawab Mira sambil menunjuk sekeliling.

Memang benar, disini sangat sepi seperti tidak ada tanda kehidupan. Kanan kiri hanya dipenuhi tumbuhan, tebing dan suara tonggeret serta jangkrik saja yang terdengar. Asap kabut putih serta hawa dingin menyeruak ke permukaan kulit, cuaca pegunungan yang khas terasa.

“Apakah benar yang dikatakan si Mbok tadi? Bahwa Dusun Kemuning itu ndak ada Mir?”. Tanyaku pada Mira. “Tapi.. siapa yang menelponku waktu itu? Jelas-jelas dia mengatakan bahwa alamatnya di Dusun Kemuning kaki gunung Kawi Mir”. Ucapku lagi meyakinkan.

“Embuh Lul, aku juga ndak tau. Terus gimana? Kita lanjutkan perjalanan atau pulang saja? Atau kita coba ke gubuk itu dulu?”. Tanya Mira memberikan pilihan. Aku berpikir sejenak. Tiba-tiba..

“Lebih baik kalian pulang saja! Kalian tidak akan menemukan tujuan kalian disini”. Suara lirih namun terdengar menggema di telinga memecahkan keheningan. Sontak saja aku melompat dari tempatku berdiri, pantas saja seorang lelaki tua berjenggot dan berambut putih ini tiba-tiba berdiri di depanku dan Mira tanpa kami tau kapan datangnya. Mira pun tak kalah kagetnya, dia mencengkeram erat lenganku sampai aku meringis sakit dibuatnya. Wajah lelaki ini terlihat teduh namun sorot matanya berbeda rasanya tak mampu untuk aku tatap. Ah, entahlah.

BACA JUGA : Sebuah Cerpen - Aku dan Gadis dalam Kisah Kiai

“Eh, si-siapa? Ma-maksudnya Bapak si-apa? Eh, Kakek, Eh, Mbah”. Tanyaku terbata-bata.

“Kau tidak perlu tau aku siapa anak muda. Yang terpenting kalian harus pergi dari sini, kalian tidak boleh meneruskan tujuan kalian kesana”. Cegahnya sambil menunjuk arah masuk gapura.

“Ta-tapi.. kami dapat undangan untuk merias di Dusun Kemuning”. Balasku mulai tenang.

“Tidak perlu! Atau kalian mau pulang dengan tinggal nama saja?”. Tanyanya dengan nada seram

Aku dan Mira beradu pandang lantas mendelik kaget tak percaya.

“Dusun itu sudah lama mati—tak berpenghuni. Disana hanya tinggal hewan hutan dan makhluk halus saja. Tidak ada manusia apalagi pengantin yang kalian cari”. Ungkapnya sekali lagi.

“Lalu.. si-siapa yang menelponku waktu itu?”. Tanyaku dengan keringat dingin bercucuran.

“Bisa saja itu dedemit penghuni hutan sana. Ya, Dusun yang kalian maksud itu sekarang sudah berganti menjadi hutan angker yang tidak boleh dilewati oleh manusia. Sudahlah, sebaiknya kalian pulang atau nyawa kalian taruhannya!”. Tuturnya dengan tatapan dingin.

“A-apa?? De-demit?”. …………. Bersambung.


0 Response to " Cerpen Horor - Pernikahan Ghaib Satu Suro"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel