Sebuah Cerpen: Aku dan Gadis Dalam Kisah Kiai
Sebuah Cerpen: Aku dan Gadis Dalam Kisah Kiai |
Terlihat dari sudut pendopo lama, gerak selambu itu menandakan kehadiranmu kembali. Sinar redup bohlam tak pernah bohong menerpa sosok yang lagi-lagi melukiskan bayang semu dari baliknya pada setengah malam; mengundang kernyut dahi dalam duduk belajarku mulai bereaksi. Aku tahu, itu kamu! Sebagaimana malam-malam lalu sejak kejadian itu.
Bayang tangannya memangkas sedikit celah pada selambu. Menjadikan todongan mata ini semakin terpaku. Ada mata di antara wajah yang tertutup kerudung itu secepat kilat menyambar keberadaanku. Dan kau pergi menghapus bayang semu ditelan kegelapan. Kamu yang masih dalam prasangka benar atau tidaknya cerita itu.
Masih dalam lamunan, kututup lembar kertas kuning dalam pangkuan ini seiring dengan lelahnya hati dan fikiran dalam mengampu tugas barunya. Hati untuk menggerogoti siapa sebenarnya kamu, serta ujian akhir Madrasah yang harus selesai capain demi capaiannya.
“Tumben tak seperti biasanya, Syad.” Sapa Imam Syafi’i, sahabat karib sekaligus teman sebaya di kelas. Bagaimanapun juga, dia satu-satunya orang yang mengetahui perihal panggilan Kiai pekan lalu; lengkap dengan tujuannya.
“Yo, Mam. Aku duluan.” Sahutku sembari meluruskan kedua kaki; siap untuk berpaling.
Dari balik punggung, Imam memegang bahuku seraya menegur serius “Syad, yakin bukan tadi itu orangnya?”
“Apanya?”, Sapaku dalam heran. “Sudahlah, sedari tadi hanya aku dan kamu di sini. Tidak kita temui telinga lain mengetahui perihal ini. Kau paham makusudku.” Kembali kulangkahkan kaki, seakan berusaha mengindari kenyataan; “Ya, barangkali Mam.” Terdengar suara yang semakin jauh “Yo jangan lupa, Istikharah cah!” Disusul dengan senyum godanya menghiasi angan yang kembali melukiskan sosok wanita dalam cerita Kiai. Uh, beginikah rasanya.
Sesampainya di kamar B-1, kuseka keringat di sekitar dahi. Paling tidak, mengobati sedikit ketegangan yang mulai bercampur aduk dengan perasaan tak tentu. Dimana, banyak orang lain menyebutnya sebagai; Dilema. Aduhai, bahkan seperti apa sosoknya pun otakku belum mampu merabanya. Hanya sebatas kisah penggambaran maha guru di pesantren ini.
Esoknya, dalam dzikir selepas sembahyang Shubuh, ada bisikan pesan dari seorang yang tak sempat aku lihat jelas wajahnya mengatakan bahwa aku telah dipanggil Kiai guna menghadap. Bersamaan dengan itu juga, keringat dingin mulai mencucur. Ototku serasa sedikit membeku dalam duduk sila. Dan fikiran khusyuk dalam sekejap berubah menjadi alun-alun lengkap dengan pasar malamnya; riuh sesak.
“Sekarang juga, Kang Irsyad”. Imbuhnya, sosok suara yang tadi membisikiku. Sudah kutebak sosoknya; Umar. Abdi dalem (Madura: Kebuleh). Senior juga sobat karib.
Dengan berkali-kali kuatur senyum di hadapan cermin kamar, dan minyak oles wangi lengkap dengan pakaian terbaik menurutku, aku sudah benar-benar yakin dengan maksud akan panggilan ini. Bismillah...
Dari langkah kaki di atas alas yang sengaja tak kusuarakan ini, gerbang ndalem Kiai mulai tampak dari sudut pendopo pengasuh. Semakin mendekat, pojok kaca mobil kendaraan beliau mulai tampak. Dari kejauhan, bahkan gerbangnya pun benar-benar ditakuti dan disegani para santri. Begitulah kiranya tradisi pesantren salaf berlaku. Tiada lain kecuali Ikraaman wa Ta’dziman.
Dengan wajah yang patah menghadap tanah, suara salam kuberanikan keluar dari mulut penuh dosa ini; “Assalamualaikum..”. suaraku lirih tertahan.
“Waalaikumsalam... Masuk”. Setelah beberapa saat mematung di hadapan pintu tua penuh wibawa. Perlahan kuangkat kaki yang gemetar dan wajah tertunduk takluk. Lalu kututup kembali. Sejenak kuangkat sedikit wajah guna mengetahui posisi kiai, merangkak dan menyalami beliau dengan kedua tangan seraya kuciumnya tangan mulia beliau bolak balik tanpa sisa.
Aku tahu, kalian hanya pembaca, begitu tak faham bagaimana runtuhnya diri kala mengetahui di antara ruangan yang mulai terasa sempit itu terdapat sosok lain selain aku dan Kiai. Dengan busana cantik dan rapih. Denyut jantung mulai meronta hendak keluar dari tempatnya diikuti memerahnya kedua pipi. Kuyakin gadis yang duduk bersimpuh di hadapan aku dan Kiai itupun merasa sama.
“Jadi, ini lo Nabila yang kuceritakan pekan lalu itu, Syad.” Lanjut Kiai selepas beberapa saat menanyakan berbagai hal sebagai pembahasan ringan pembukaan. “Sekarang, angkat wajah kalian berdua, sejenak saja lihat wajah satu sama lain”. Imbuh Kiai semari menghamparkan tangan kanannya padaku dan tangan kiriku padanya.
Tidak sedikitpun prediksiku melenceng. Dialah gadis itu, dengan nama Nabila. Sesaat wajah eloknya mampu membius ingatanku akan sosok yang belakangan ini kerap mengintip belajarku dari balik kelambu pembatas santri. Sekilas senyumnya tak dibuat-buat. Walau sedikit dipaksa akibat serangan malu. Alisnya hitam legam memayung kedua bola mata yang membola jujur diselimuti keindahan. Hidungnya sedang nan imut, seakan menjadi magnet lain. Pada akhirnya kedua bibir yang merah alami dan manis itu, tampak begitu bersih dan polos. Bila kau tahu Annelies dalam kisah Bumi Manusia, barangkali bibirnya sedikit lebih unggul dalam hiasan kecantikan natural. Dan wajah tanpa tersentuh make up menggambarkan mutiara dalam cangkang kerang. Jauh dari tangan manusia jahat.
Dengan sekali tatap indahnya; Nabila, aku telah masuk ke dalam dunia yang kau sebut dengan “Jatuh Hati”. Aku tertarik dan tak adan satupun rasa ingin menyangkal kekurangan yang sejauh ini tak kutemui. DI sisi lain juga ada hati yang berupaya meniup cinta jauh dari pintu masuknya.
Kusudahi keindahan lamunan sesaat ini bersamaan dengan dawuh Kiai; “Nabil, ini Irsyad. Santri yang hendak aku jodohkan denganmu. Aku merasa kalian berdua memiliki kecocokan yang kutemui dalam mimpi Istikharah. Semoga kalian berdua ditakdir berjodoh”.
Antara tangis bersalah dan penyesalan, sebentar kuarahkan telapak tangan kanan menemel di dada tepat denyut nadi itu semakin mengguncang. Lalu dengan sergukan sekali nafas, kuberanikan diri yang rapuh ini menengahi langkah indah dalam ruang sempit.
“Abdi haturkan permohonan maaf Kiai, orang tua Abdi telah sebulan lalu meminangkan Abdi seorang gadis. Mohon maaf Kiai, Abdi.....”. Bersambung.
0 Response to "Sebuah Cerpen: Aku dan Gadis Dalam Kisah Kiai"
Post a Comment