SEJARAH PERADABAN DINASTI SHAFARIYAH
Saturday, 8 August 2020
Add Comment
RUNTUHNYA DINASTI SHAFARIYAH
Disusun untuk memenuhi tugas UAS
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu:
Dr. KH. M. Shofiyulloh, ST, M.Si.
Oleh:
Syifa’ur Romli
NIM. 22002012012
PROGRAM PASCASARJANA
INSITUT AGAMA ISLAM AL-QOLAM
MALANG
2020
Abstrak
Dinasti-dinasti kecil yang muncul di periode kedua masa Daulah Abbasiyah
sebagian besar berasal dari Arab memecah wilayah kekuasaan Khalifah dari Barat. Dinasti Shafariyah (Fars, Persia) didirikan oleh
Ya’qub bin Laits al-Shaffar. Seorang pekerja tukang kuningan bersama ayah dan
adiknya, yang kemudian masuk ke dalam gerombolan penyamun ketika usahanya
mengalami kemerosotan. Ketika pasukannya semakin kuat ia mengadakan ekspansi
wilayah hingga berhasil merebut daerah kekuasaan Dinasti Thahiriyah dan
kemudian mendirikan sebuah dinasti sendiri. Usaha untuk menguasai
wilayah-wilayah yang ada terus dilakukan, sampai pada akhirnya tinggallah
Baghdad. Diteruskannya rencana untuk melakukan penaklukan atas Baghdad, tetapi
usahanya kali ini gagal sebab khalifah Abbasiyah telah terlebih dahulu mengutus
pasukan perang di bawah kepemimpinan al-Muwafaq. Sehingga pasukan Ya’qub
berhasil dikalahkan, dan Ya’qub pun meninggal dunia. Sepeninggal Ya’qub
digantikan oleh adiknya Amr, yang juga tidak berselang lama berhasil
ditaklukkan oleh pasukan Bani Samaniyah.
Kata Kunci :
Dinasti Shafariyah, Keberhasilan, Kehancuran.
A.
Pendahuluan
Peradaban Islam adalah terjemahan dari
kata Arab al-Hadharah al-Islamiyah, yang diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia dengan Kebudayaan Islam. Di Indonesia, sebagaimana juga di Arab dan
Barat, masih banyak orang yang mensinonimkan dua kata “kebudayaan” (Arab; al-Tsaqafah
– Inggris; culture) dan “peradaban” (Arab; al-Hadarah – Inggris; civilization).
Dalam perkembangan ilmu antropologi sekarang, keduanya dibedakan secara makna.
Kebudayaan adalah bentuk ungkapan tentang semangat mendalam suatu masyarakat
(lebih banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi serta moral). Sedangkan
manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis lebih berkaitan dengan peradaban;
terefleksi dalam politik, ekonomi dan teknologi.[1]
Pembahasan mengenai sejarah
perkembangan peradaban Islam yang sangat Panjang dan kompleks tersebut tidak
bisa dipisahkan dengan pembahasan sejarah politik yang juga terkandung di
dalamnya. Bukan hanya karena aspek politik yang mempunyai peran prnting dalam
perkembangan peradaban Islam, tetapi terutama karena sistem politik dan
pemerintahan itu sendiri merupakan aspek penting dari peradaban. Sejarah
politik dunia Islam terbagi ke dalam tiga periode: Pertama, periode
klasik (650-1250 M); Kedua, periode pertengahan (1250-1800 M); Ketiga, periode
modern (1800 M – sekarang). Akan dibahas lebih lanjut dalam makalah ini adalah
sejarah politik periode klasik beserta seluk beluk pemerintahannya.
Adapun Negara merupakan satu perangkat
instrumental bagi pelaksanaan tata pemerintahan. Hal ini telah disadari oleh
umat Islam, tatkala Islam mulai mengalami perkembangan, baik itu dalam hal
jumlah kaum Muslimin maupun pada sektor wilayah kekuasaan Islam yang semakin
meluas. Hal tersebut cukup memberi satu alasan penting untuk menumbuhkan
kesadaran dikalangan umat Islam tentang perlunya penataan sistem ketatanegaraan
yang lebih rapih dan terkordinasi. Terdapat sebuah kaitan antara Islam sebagai suatu
rancangan yang menyeluruh untuk menata kehidupan umat manusia, dengan politik
sebagai satu-satunya alat yang dipakai untuk menjamin ketaatan universal terhadap
rancangan tersebut.[2]
Konsep kepemimpinan dalam Islam
memiliki dasar-dasar yang sangat kuat, selain berdasar kepada kedua sumber
utama yakni Al-Qur’an dan Hadits juga sebagaimana proses aktualisasi yang telah
diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW sejak berabad yang lalu. Dengan tidak
mengesampingkan dasar Islam yang utama, pola kepemimpinan dalam Islam mengalami
perkembangan yang dinamis. Perubahan ini terjadi dalam diri manusia maupun di
luar dirinya, termasuk lingkungan sekitar. Adanya kondisi semacam ini
dikarenakan perjalanan waktu yang terus bergerak maju, sehingga menimbulkan
dinamisasi dalam pola-pola hidup manusia, baik itu berprilaku, gaya hidup
maupun cara berfikirnya, tidak terkecuali pula corak kepemimpinan dalam Islam.
Semasa hidup Rasulullah, peran ganda
sebagai utusan Allah sekaligus pemimpin ummat diembannya dengan sempurna. Konsep
kepemimpinan dalam Negara telah difahami oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai sebuah
cara untuk membangun peradaban Islam dalam bidang Politik Ketatanegaraan. Dan
itu tampak pada keberhasilannya dalam meletakkan landasan sebuah Negara yang
berdasarkan ajaran-ajaran Islam pada masa pemerintahan Islam waktu itu. Sehingga
sepeninggal beliau, syari’at Islam yang menjadi dasar tata pemerintahan
diwariskan Rasulullah kepada para pemimpin pengganti beliau yang disebut dengan
Khalifah atau Khulafa’ ar Rasyidin (para khalifah atau
pemimpin yang diberi petunjuk). Sistem pemerintahan yang diterapkan serta
segala sesuatu yang termasuk di dalamnya selanjutnya disebut sebagai sistem khilafah.[3]
Masa pemerintahan sepeninggal
Rasulullah disebut periode Khilafah Rasyidah, yakni masa kepemimpinan
Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib
(11 – 41 H / 632 – 661 M). Corak pemerintahan pada masa keempat khalifah
ini berdasarkan kepada tauladan Rasulullah. Rasul pun sengaja tidak
meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan kepemimpinan atas kaum
muslimin setelah beliau wafat, mereka dipilih berdasarkan jalan musyawarah
(demokrasi) sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah.[4] Selepas masa Khulafa’
ar Rasyidin, sistem pemerintahan Islam berubah menjadi bentuk kerajaan. Sistem
tata negara yang semula bersifat demokrasi, berubah menjadi monarchi
heridetis (kerajaan turun temurun).
Pada tahun 661 M terjadi sebuah
perjanjian persatuan umat muslim demi mendamaikan pemberontakan-pemberontakan yang
terjadi pada detik terakhir kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Yakni pasca
terbunuhnya Ali kemudian digantikan Hasan selama beberapa bulan. Perjanjian
damai ini dapat mempersatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan politik
Muawiyah bin Abi Sufyan. Dan pada tahun ini disebut tahun persatuan, yang mana
dalam sejarah dikenal sebagai tahun jama’ah (‘aam jama’ah).[5] Memasuki masa kekuasaan
Muawiyah menjadi awal berkuasanya Bani Umayyah atas pemerintahan Islam (41 –
132 H / 661 – 750 M). Kepemimpinan Muawiyah diperoleh atas jalan kekerasan,
tipu daya dan diplomasi.
Dilanjutkan oleh Daulah Abbasiyah
sebagai penguasa Islam kedua setelah Daulah Umayyah. Daulah yang berkuasa pada
masa yang cukup panjang, didirikan oleh Abul Abbas Abdullah bin Muhammad bin
Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim (132 – 656 H / 750 –
1258 M). Yang mana corak pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda mengikuti
perubahan situasi politik, sosial dan budaya. Keutuhan wilayah yang dikuasai
oleh Daulah Abbasiyah mampu bertahan hingga kurang lebih seratus tahun.
Gemilang masa kejayaan Daulah Abbasiyah pada periode pertama sangat lekat
dengan peradaban Islam.
Pada periode pertama Dinasti Abbasiyah,
muncul fanatisme kebangsaan berbentuk gerakan syu’ubiyah (anti Arab). Gerakan inilah
yang menginspirasi banyaknya gerakan politik. Dinasti-dinasti kecil yang tumbuh
dan memerdekakan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasiyah, ada
yang berlatar belakang bangsa Arab, Turki, Persia, dan Kurdi, sebagaimana ada
juga yang berlatar belakang aliran Syi’ah dan Sunni.[6] Sedangkan pada periode
kedua, wibawa khalifah merosot tajam. Dan keadaan seperti ini dimanfaatkan oleh
para panglima tentara untuk mengambil alih kekuasaan dari khalifah. Namun
kekuasaan para tentara itu juga tidak bertahan lama karena mereka saling
berselisih dan tidak mendapatkan dukungan penduduk akibat kedzaliman mereka.
Hal itulah yang menjadi latar belakang bermulanya masa disintregasi dan dunia
Islam terpecah menjadi beberapa kerajaan.
B.
Sejarah Singkat Dinasti Shafariyah (254 – 289 H / 867 – 903 M)
Dinasti shafariyah merupakan sebuah
dinasti Islam yang paling lama berkuasa di dunia Islam. Didirikan oleh seorang
pekerja tukang barang-barang kuningan/tembaga, Ya’qub bin Laits al-Shaffar.
Nama Shaffariyah juga diambil dari nama pendiri dinasti ini. Ya’qub bin Laits
al-Shaffar sejak kecil adalah orang yang tekun terhadap pekerjaan, ia menekuni
pekerjaan ini di perusahaan ayahnya. Namun sejak ayahnya meninggal dunia,
kemudian perusahaan tersebut dikelola oleh dia dan adiknya; Amr bin Laits,
perusahaan tersebut semakin mengalami kemunduran sampai akhirnya bangkrut.[7]
Kemerosotan ekonomi yang dialaminya
inilah yang kemudian menjadikan ia dan adiknya bergabung ke dalam kelompok
penyamun. Ketika terjadi kekacauan, gerombolan penyamun ini muncul, mereka
membegal kafilah-kafilah dagang maupun iring-iringan pembesar pemerintahan. Hal
ini membuat kemelut kekacauan terhadap kehidupan rakyat dan kehidupan ekonomi
secara umum semakin menjadi. Sekalipun Ya’qub adalah seorang penyamun, tetapi
ia adalah pribadi yang dermawan. Ya’qub sering membantu orang-orang yang
tertindas dan mau merampok hanya pada para hartawan yang hidup dari hasil
pemerasan juga. Sedangkan orang-orang yang dianggap baik tidak diganggunya.
Lambat laun kelompoknya menjadi pasukan
yang tangguh, teratur dan mempunyai disiplin tinggi, yang semakin hari semakin
mengharumkan namanya. Ketika Ya’qub sudah mulai kuat, pada tahun 253 H/867 M ia
memulai gerakannya. Ia melakukan perluasan wilayah ke Sijistan dan Punjab. Pada
tahun itu pula ia dapat merebut benteng Herat bagian utara, perbatasan wilayah
Khurasan. Selanjutnya Ya’qub berusaha mengelabui dan meguasai Nesabury panglima
perang negara Aththahiriyah dan memproklamirkan dirinya sebagai utusan khalifah
untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan Thahir (penguasa Aththahiriyah). Ia
meneruskan untuk menguasai wilayah Makran (Balukhistan) dan wilayah Fars.
Benteng Kirman telah dikuasai sebelum penaklukan wilayah tersebut.[8]
C.
Keberhasilan Dinasti Shafariyah
Setelah Ya’qub memproklamirkan dirinya
menjadi penguasa baru, ia melanjutkan ekspansi ke wilayah-wilayah di sekitarnya.
Pada dua tahun berikutnya, Ya’qub mulai mempersiapkan kekuatan baru sembari
menunggu bagaimana reaksi pihak khilafah Abbasiyah. Ia menyaksikan kerusuhan di
sana sini sebagai reaksi atas pemerintahan al-Mu’tazz, dan pada tahun 255 H
terjadilah puncak kemelut di Ibu Kota Samarra. Demikian yang terjadi dengan khalifah
penggantinya yakni al-Muhtadi, dianggap sebagai khalifah yang lemah. Sehingga
wibawa pemerintah tampak berkurang. Menyusul kesuksesan sebelumnya, maka pada
tahun berikutnya ia melanjutkan penguasaan atas kota Kabul dan kota bentang
Balkh. Ya’qub juga merebut Khurasan pada tahun 260H/873 M.[9]
Meskipun kesuksesan telah banyak
dicapai oleh Ya’qub, tetapi hubungan dengan pemerintahan Daulah Abbasiyah masih
terjaga dengan baik. Hubungan baik dengan Abbasiyah itu semakin mengukuhkan
pemberian khalifah atas beberapa kota penting antara lain Balkh, Thurkhanistan,
Kirman, Sijistan dan daerah lainnya. Dalam catatan perjalanan sejarah
berikutnya tampaknya Ya’qub memang berpotensi menjadi pemimpin besar. Ia terus
melebarkan sayap kekuasaannya sampai di wilayah Khurasan. Tidak dapat
dipungkiri bahwa Dinasti Shaffariyah adalah salah satu Dinasti berkebangsaan
Persia yang mempunyai sejarah gemilang pada masanya, sebab dipimpin oleh
penguasa yang bijak beserta pasukannya yang tangguh.[10]
Tetapi lambat laun, penguasa Daulah
Abbasiyah mulai khawatir dengan sepak terjang Ya’qub. Khalifah merasa terancam
kedudukannya di Baghdad sehingga khalifah memberi peringatan, akan tetapi
Ya’qub tidak mengindahkan peringatan tersebut dan bahkan menentangnya dengan
mengandalkan kekuatan pasukannya. Melihat besarnya kekuatan pasukan Ya’qub,
khalifah pun membiarkannya dan mengutus kurir untuk menyerahkan wilayah
Khurasan, Thibristan, Jurjan, al-Ra dan Persia, sekaligus mengangkatnya sebagai
amir.
Kegemilangan Ya’qub dalam perluasan
wilayah ini menjadikannya berkeinginan untuk menguasai Baghdad. Ya’qub pun
bergerak menuju Baghdad, sebab hanya Baghdad satu-satunya wilayah yang masih
dikuasai khalifah Abbasiyah. Sedangkan khalifah mengutus saudaranya yang
bernama al-Muwafaq untuk memimpin pasukan perang. Pasukan Ya’qub diserbu
terlebih dahulu oleh pasukan al-Muwafaq. Ya’qub yang diduga sedang memiliki
masalah pada saat itu, mengalami kekalahan pahit dan meninggal pada tahun (256 H
/ 879 M)[11]
di tangan utusan khalifah yakni al-Muwafaq.[12]
D.
Kemunduran Dinasti Shafariyah
Atas meninggalnya Ya’qub bin Laits
al-Shaffar, Amr bin Laits diakui sebagai gubernur. Amr menerima kekuasaan
sebagai gubernur atas penetapan khalifah al-Mu’tamid, karena sebelumnya ia
mengirim surat kepada khalifah sebagai pernyataan ketaatannya. Ia pun akhirnya
diakui oleh khalifah sebagai gubernur Sijistan. Di bawah kepemimpinan Amr tetap
dilaksanakan perluasan kekuasan, salah satunya ia menginginkan wilayah
Transoxania yang saat itu secara formal masih berada di bawah penguasaan
Dinasti Thahiriyah. Meskipun di satu sisi sesungguhnya yang berkuasa di wilayah
ini adalah Bani Samaniyyah, dan mereka mempunyai kekuatan yang lebih dari pada
Shafariyah.
Pasukan Amr dapat dikalahkan oleh
pasukan Ismail bin Ahmad dari Bani Samaniyyah, kemudian Amr sendiri ditangkap.[13] Akhirnya semua hasil
penaklukan terlepas kembali, dan hanya Sijistan yang masih berada dalam
kekuasaan Dinasti Shafariyah. Sebenarnya ada tiga orang pengganti Amr, tetapi
ketiga-tiganya kurang mendapatkan perhatian oleh para sejarawan. Ketiga penerus
itu adalah Thahir bin Muhammad (900-909 M), al-His bin Ali (909-910 M), dan al-Mua’addil
bin Ali (910- 911 M). Dinasti ini semakin melemah karena banyaknya perbedaan
ideology, pemberontakan dan terjadi kekacauan (kondisi carut-marut) dalam
pemerintahan.[14] Akhirnya
Dinasti Ghaznawi mengambil alih kekuasaan Dinasti Shaffariyah. Setelah penguasa
terakhir Dinasti Shaffariyah, Khalaf meninggal dunia, berakhir pula kekuasaan
Dinasti Shaffariyah di Sijistan.[15]
E. Kesimpulan
Gemilang kekuasaan yang tangguh juga
dapat berakhir sebuah kehancuran. Semuanya tergantung pada siapa yang paling
kuat bertahan di antaranya. Sebagaimana pembahasan mengenai Dinasti Shafariyah
di atas, seorang Ya’qub bin Laits al-Shaffar sebagai pendirinya. Yang semula
bekerja sebagai tukang kuningan/tembaga, kemudian menjadi salah satu anggota
komplotan penyamun, hingga komplotan tersebut menjelma sebagai pasukan tangguh
yang semakin luas jaringan kekuasaannya. Menjadi awal mula berdirinya DinastiShaffariyah di bawah kepemimpinan Ya’qub, dengan gesitnya mampu menaklukkan
wilayah-wilayah yang diinginkannya. Termasuk juga wilayah kekuasaan Dinasti
Thahiriyah lalu mengambil alih kekuasaannya.
Prestasi tersebut diraih Ya’qub dengan
tetap menjaga hubungan baik dengan khalifah Abbasiyah. Tetapi lama semakin
lama, Ya’qub juga menginginkan Baghdad yakni wilayah satu-satunya yang tertinggal
sebagai daerah kekuasaan khalifah Abbasiyah. Disusunlah rencana untuk melakukan
serangan untuk menaklukkan Baghdad. Tetapi rencana tersebut berakhir dengan
kegagalan sebab khalifah Abbasiyah telah terlebih dahulu mengutus pasukan di
bawah pimpinan saudaranya al-Muwafaq untuk menyerbu pasukan Ya’qub. Pada
peristiwa penyerbuan ini, yang diduga keadaan Ya’qub sedang dalam masalah
pasukan al-Muwafaq berhasil mengalahkan dan Ya’qub pun meninggal dunia.
Hal ini menjadi bukti dalam catatan
sejarah peradaban Islam tentang nilai politik, sosial dan budaya yang
terkandung di dalam setiap deretan peristiwa. Keberhasilan atau prestasi dan
kemunduran atau kehancuran adalah dua hal yang serta merta menjadi niscaya.
Dari sejarah Dinasti Shaffariyah dapat diambil pelajaran bahwa hidup bukan
hanya tentang kekuasaan dan saling rebut, melainkan juga tentang bagaimana cara
berjuang dengan ikhlas dan bagaimana cara untuk bertahan menghadapi serangan
ujian. Sebab, siapa yang paling kuat di antaranya maka dialah yang akan mampu
untuk bertahan.[]
Wallahu A’lam…
Daftar Pustaka
Ahmad.
(1977). Sejarah Islam dan Ummatnya Jilid III, Jakarta: Bulan Bintang.
Al-Sharqawi, Effat. (1986). Filsafat
Kebudayaan Islam, Bandung. Pustaka.
‘Aus, Abdul Halim. Dirasah Li Suquth Tsalatsina
Daulah Islamiyah, Alokah.
Enayat, Hamit. (1998). Reaksi Politik
Sunni dan Syi’i: Pemikiran Politik Modern Menghadapi Abad Ke-XX, Bandung.
Pustaka.
Fuadi,
Imam. (2011). Sejarah Peradaban Islam, Yogyakarta. Teras.
Hasan, Hamka. (2004). “Kemunduran Peradaban
Islam dan Disintegrasi Politik Bani Abbas”, Jurnal Al-Zahra’; Jurnal Studi
Islam Komprehensif, Vol. 3, No. 2. Syahraeni, Andi. (2016) “Dinasti-Dinasti
Kecil Bani Abbasiyah”, Jurnal Rihlah, Vol. 4, No. 1.
Ibrahim Hassan, Hassan. (1989). Sejarah
Kebudayaan Islam, Yogyakarta. Kota Kembang.
Ismail, Faisal. (1999). Islam
Idealitas Ilahiyyah dan Realitas Insaniyyah, Cet. ke-1 Yogyakarta. Tiara
Wacana Group.
Munir Amin, Samsul. (2009). Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta. Amzah.
Yatim, Badri. (1996). Sejarah
Kebudayaan Islam II, Jakarta. Ditjen Binbaga Islam.
Yatim, Badri. (2014). Sejarah
Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, Jakarta. Rajawali Pers.
[1] Effat Al-Sharqawi, Filsafat
Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka, 1986), hal. 5.
[2] Hamit Enayat, Reaksi Politik
Sunni dan Syi’i: Pemikiran Politik Modern Menghadapi Abad Ke-XX, (Bandung:
Pustaka, 1998), hal. 1.
[3] Faisal Ismail, Islam
Idealitas Ilahiyyah dan Realitas Insaniyyah, Cet. ke-1 (Yogyakarta: Tiara
Wacana Group, 1999), hal. 157.
[4] Hassan Ibrahim Hassan, Sejarah
Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Kota Kembang. 1989), hal. 34.
[5] Ibid,. hal. 64.
[6] Badri Yatim, Sejarah
Kebudayaan Islam II, (Jakarta: Ditjen Binbaga Islam, 1996), hal. 438.
[7] Ahmad, Sejarah Islam dan
Ummatnya Jilid III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hal. 269.
[8] Hamka Hasan, “Kemunduran
Peradaban Islam dan Disintegrasi Politik Bani Abbas”, Jurnal Al-Zahra’;
Jurnal Studi Islam Komprehensif, Vol. 3, No. 2, (2004), hal. 223.
[9] Andi Syahraeni, “Dinasti-Dinasti
Kecil Bani Abbasiyah”, Jurnal Rihlah, Vol. 4, No. 1, (2016), hal. 104.
[10] Badri Yatim, Sejarah
Peradaban Islam; Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal.
65.
[11] Dr.Abdul
Halim ‘Aus, Dirasah Li Suquth Tsalatsina Daulah Islamiyah, hal. 34.
[12] Imam Fuadi, Sejarah Peradaban
Islam, (Yogyakarta: Teras, 2011), hal. 177.
[13] Dr.Abdul
Halim ‘Aus, Dirasah Li Suquth Tsalatsina Daulah Islamiyah, hal. 34.
[14] Ibid.,
hal.
34.
[15] Samsul Munir Amin, Sejarah
Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah, 2009), hal. 276.
0 Response to "SEJARAH PERADABAN DINASTI SHAFARIYAH"
Post a Comment