PEMETAAN EPISTEMOLOGI ISLAM PERSPEKTIF ABID AL-JABIRI DAN SARI NUSIBEH
Thursday, 23 April 2020
Add Comment
PEMETAAN EPISTEMOLOGI ISLAM PERSPEKTIF ABID AL-JABIRI DAN SARI NUSIBEH |
Secara
filosofis-spekulatif, Epistemologi Islam dikaji oleh ilmuan Barat sebagai
diskursus yang tengah serius menjadi problematika Intelektualitas Islam berikut
pemetaan strukturnya. Beberapa pemetaan komprehensif terhadap kajian
epistemologi Islam yang dirangkum dari argumen Abid Al-Jabiri serta pemetaan
pemikiran Islam menurut Sari Nusibeh.
Abid
Al-Jabiri memetakan nalar epistemologi Islam dalam rangka Ihya’ at-Turats Arab-Islam. Ada tiga otoritas yang ditemukan dalam
penelitian Abid Al-Jabiri yang mencirikan pemikiran nalar Arab klasik antara
lain: (1). Otoritas term (sulthah
al-alfazh). (2). Otoritas sumber (sulthah
al-ashl). (3). Otoritas keserbabolehan (sulthah
al-tajwiz). Selain itu, Abid Al-Jabiri juga mengemukakan bahwa nalar Arab
dibentuk oleh tiga model penalaran antara lain nalar bayani, nalar irfani dan
nalar burhani. Berikut uraian
singkatnya:
1.
Nalar
Bayani
Nalar bayani menggunakan dalil teks (nash) sebagai tolak ukur suatu
kebenaran. Baik teks itu sendiri yang menunjukan kebenaran, atau berdasarkan
interpretasi dari teks lain. Nalar bayani sama sekali tidak menerima rasio
sebagai kekuatan signifikan. Adapun metode yang digunakan dalam nalar ini
adalah metodologi qiyas yang kembali
kepada teks.
Dalam upaya mendapatkan
pengetahuan, metode bayani menempuh dua jalan. Pertama, menggunakan kaidah bahasa Arab nahwu dan shorof. Kedua, menggunakan metode analogi.
2.
Nalar
Irfani
Nalar Irfani kaitannya
dengan pengetahuan yang diperoleh secara langsung menggunakan perantara
pengalaman. Bersumber lewat penyinaran hakikat secara langsung dari Tuhan
kepada hamba-Nya setelah menemuh proses pengorbanan ruhani atas dasar cinta (riyadhah). Bayani menggunakan otoritas tolak ukur kebenarannya pada teks, irfani menggunakan intuisi dan
terbukanya batin merupakan otoritasnya.
Hal yang didapatkan dari ilmu ini diistilahkan
dengan (al-Ilm al-Hudhuri), dimana mukasyafah dan musyahadah sebagai komponen utamanya. Dimana kasyaf sendiri oleh Al-Ghazali dipandang sebagai sebuah aspek
Epistemologi tertinggi. Sebab pemahaman yang didapat bukan lagi melalui
inderawi, melainkan melalui jalur intuitif. Kejernihan hati merupakan salah
satu syarat untuk dapat menggunakannya.
Sebagaimana
didefinisikan oleh Al-Jabiri, bahwa Al-Burhan merupakan suatu argumentasi yang
kuat dan jelas. Berbeda dengan Ifani
suatu metode berfikir dengan menggunakan intelektual, eksperiman dan atau
logika, dimana panca indera merupakan perantaranya. Secara mudah, nalar burhani
bertumpu pada rasio seseorang. Bayani menetapkan kebenaran proposisi melalui
pendekatan deduktif serta mengaitkannya dengan proposisi yang lain yang secara
aksiomatik kebenarannya sudah teruji. Sama dengan bayani, burhani juga
menggunakan qiyas. Hanya saja qiyas
yang digunakan oleh burhani tak kembali pada teks, melainkan melalui rasio dan
eksperimentasi melalui tahapan-tahapan yang ada.
Berbeda dengan
Al-Jabiri, pemetaan model lain juga dilakukan oleh Sari Nusibeh dalam rangka
menjelaskan secara komprehensif mengenai pemetaan aliran-aliran epistemologi dalam
Islam ke dalam empat varian antara lain:
1.
Pendekatan
Konservatif
Model pendekatan yang
mengasumsikan kebenaran terhadap; (1). Teks wahyu, (2). Nalar logika melalui
teks tersebut.
2.
Pendekatan
Dialektis
Model pendekatan yang
digunakan oleh para Mutakallimun
masih sama merujuk pada teks, namun dalam pendekatan epistemologinya
menggunakan “logika yang unik” antara lain: (1). Hubungan logis (distingtif
atas hubungan kausal), (2). Penggunaan wacana terminologi khusus seperti; ma’na, haal, maudlu’i, sukun an-nafs.
3.
Pendekatan
Filsafat
Pendekatan epistemologi
yang mendasarkan kebenaran pada “body of
knowladge” atas sejumlah ide filsafat sebagai rujukan.
4.
Pendekatan
Mistis
Jenis pendekata
epistemologis yang sama dengan konsepsi nalar irfani milik Al-Jabiri. Menggunakan intuisi sebagai jembatannya
serta produk “Ilm al-Hudhuri”.
Pemetaan
Epistemologi islam milik Nusibeh memiliki persamaan serta perbedaan dengan
milik Abid Al-Jabiri. Hanya saja, pemetaan yang dilakukan Nusibeh lebih banyak
yang ditransmisikan pada ilmu-ilmu yang ditransmisikan (naqliyah) dan pada disiplin kalam.
*PANDANGAN
PRIBADI (Ruang Lingkup Internal)
Konsep
Abid Al-Jabiri telah membuka kebuntuan berfikir pribadi penulis yang berlatas
belakang sebagai seorang santri (rung lingkup internal, adapun secara universal
adalah seluruh intelektual muslim). Bahwa hampir seluruh pesantren salaf, pada
ranah Epistemologinya masih terpaut pada kekakuan teks baik nash maupun naqli/qiyas. Dimana secara umum, kekakuan tersebut terus dipaksakan
hingga menuntut teks yang ada dapat menjawab berbagai problematika baru yang
telah jauh terpaut masa dari kurun dimana teks tersebut ada pada mulanya.
Sebagai jalan keluarnya, maka konsepepistemologi Abid Al-Jabiri tentang Nalar Burhani sejatinya perlu dikaji kembali
dan diterima secara perlahan. Mengingat sekalipun ada, Nalar Irfani sungguh sangat terbatas pada
ranah syarat komponennya.
Setidaknya,
argumen yang diajukan oleh Al-Syathibi perlu dikaji secara komprehensif sebagai
upaya Ihya’ at-Turats yang hingga sampai ke sini semakin berkutat pada keterbatasan
produk teks (secara umum mengacu pada pengarang), yang dianggap kredibel
khususnya di nusantara. Berusaha lepas dari konsep Al-Syafi’i, ide Al-Syathibi
berupa acuan pada (maqâsid al-syarî’ah)
sebagai upaya pemberian dasar rasionalitas atas hukum-hukum, merupakan
upayamenyadarkan bahwa Ijtihad dengan cara lama sudah bukan solusi lagi.
Sejujurnya,
penulis pribadi bukan tidak ingin menelaah karangan Abid Al-Jabiri yang lain.
Sungguh menarik dan meluaskan wawasan. Hanya saja, ketersinggungan antara satu
tugas kuliah individual ini dengan yang lain sungguh pun membutuhkan waktu
ekstra cepat guna menyelesaikannya secara keseluruhan dalam waktu satu minggu.
Terimakasih.
0 Response to "PEMETAAN EPISTEMOLOGI ISLAM PERSPEKTIF ABID AL-JABIRI DAN SARI NUSIBEH"
Post a Comment