ARTIKEL FASE MAKKI DAN MADANI - ULUMUL QUR'AN
Thursday, 23 April 2020
Add Comment
Oleh: Syifa’ur Romli
(22002012012)[1]
ABSTRAK
Fokus penulisan ini tertuju pada fase Makki dan Madani. Dimana dari hasil pengamatan penulis, terdapat beberapa
opsi perspektif definisi mengenai keduanya. Namun masih terjadi debatable dan
terbuka untuk dilakukan penelitian lebih lanjut. Penentuan Makki dan Madani
menentukan latar waktu, tempat serta gaya bahasa yang digunakan. Termasuk
urgensinya terhadap sumbangsih interpretasi Al-Qur’an. Ciri-ciri ayat Makkiyah dan Madaniyah yang terdeteksi merupakan salah satu metode dalam
penentuan Makki dan Madani. Dimana aspek riwayat dari para
sahabat dan tabi’in yang mengetahui serta menyaksikan secara langsung turunnya
ayat merupakan metodologi utama dalam penentuan Makki atau Madani.
Kata Kunci: Fase, Makki dan
Madani.
A.
Pendahuluan
Dalam pembahasan studi ulumul Qur’an, setidaknya
ada beberapa tema pembahasan yang sangat mendasar untuk dijadikan pembasan.
Antara lain: Asbab an-Nuzul,
sistematika bacaan Qur’an (Qira’at) ,
Naskh Mansukh, Makkiyah Madaniyah dan
lainnya. Hal ini kuat singgungannya terhadap pendalaman makna dan isi kandungan
Al-Qur’an secara mendalam. Baik yang sudah tersurat atau masih tersirat.
Terlebih pada konteks interpretasi, selain menggunakan makna dari teks, aspek
historis juga sangat diperlukan guna mengekstrak kandungan ayat yang ada. Sebab
diturunkannya ayat, objek latar dan waktu turunnya ayat, apakah ditujukan
terhadap penduduk Makkah ataupun Madinah.
Kajian fase Makki dan Madani
merupakan salah satu objek kajian histori yang penting untuk dipelajari untuk
menjadi komponen dalam menafsirkan Al-Qur’an. Hal tersebut menjadi penting
sebab verifikasi serta klasifikasi latar tempat, waktu dan pola kalimat menjadi
penentu kevalidan sebuah penafsiran guna menghindari kesalahan pada
penafsirannya (al-inkhiraf fi tafsir
Al-Qur’an).
Pada artikel yang akan disajikan penulis kali
ini, sedikit akan mengurai mengenai kajian fase Makki dan Madani dalam ruang
lingkup definisi, metodologi, klasifikasi, urgensi serta berbagai pro-kontra
yang terjadi pada pembahasannya sehingga menjadi sebuah opsi perangkat memahami
dan menganalisa suatu penafsiran Al-Qur’an yang sangat menarik untuk dipelajari.
B.
Pembahasan
As-Suyuthi mendefinisikan Makki sebagai suatu surat ataupun ayat
yang diturunkan sebelum hijrah. Sedangkan Madani
merupakan suatu ayat atau surat yang diturunkan setelah hijrah. Hal tersebut
disampaikan Abdurrahman guna menghilangkan asumsi sebagian kalangan bahwa Makki dan Madani tidak serta merta menunjuk pada latar tempat saja.[2]
Kendati demikian, terdapat beberapa
perspektif terkait definisi terminologi Makki
dan Madani. Perspektif tersebut
antara lain: (1). Masa turun (zaman
an-nuzul), (2). Tempat turun (makan
an-nuzul), (3). Objek wahyu (mukhatab),
dan (4). Tema pembicaraan (Maudlu’).
Dimana pada perspektif masa turun, sebagaimana definisi yang diunggulkan
As-Suyuthi di atas. Pada perspektif tempat turun, Makkiyah merupakan ayat atau surat yang diturunkan di kota Makkah
dan sekitarnya seperti Mina, Arafah,Hudaibiyah dan Madaniyah adalah yang turun di kota Madinah dan sekitarnya seperti
Uhud, Quba’ dan lainnya. Pada perspektif objek wahyu, Makkiyah merupakan ayat atau surat yang dikhitabkan kepada orang-orang Makkah sedangkan Madaniyah sebaliknya. Pada perspektif tema pembicaraan, kendati
surat atau ayat diturunkan di Madinah, akan tetapi objeknya adalah orang-orang
Makkah atau diikenal dengan istilah “Maa
Nuzila bi al-Madinah wa hukmuhu Makki”.[3]
Dari sekian deretan perspektif definisi di
atas, tiga di antaranya memiliki celah yang melatar belakangi kurang
diterimanya definisi ke tiganya. Kecuali definisi pertama di atas, yang
mengatakan bahwa Makki atau Madani ditentukan berdasarkan masa
Rasulullah SAW hijrah. Banyak Ulama yang mengunggulkan definisi di atas termasuk
As-Suyuthi dan Az-Zarkasyi. Dengan demikian, surat An-Nisa’ [4]: 58 termasuk
katagori Madaniyah meskipun tempat
turunnya adalah kota Makkah.
Para Ulama menggunakan beberapa metodologi
dalam memastikan suatu ayat atau surat adalah Makkiyah atau Madaniyah. Sebagaimana
pendapat Manna Al-Qaththan yang menklasifikasikan dua metode utama dalam
penentuannya. Keduanya adalah sima’i
naqli (pendengaran secara transmisi) dan qiyasi ijtihadi (analogi ijtihad). Sebagian besar penentuan suatu
ayat atau surat merupakan wujud dari metode yang pertama. Disandarkan pada
riwayat dari para sahabat yang hidup serta menyaksikan turunnya wahyu. Dan
seterusnya para tabi’in yang mendengar riwayat dari para sahabat.
Adapun metode qiyasi ijtihadi dilakukan melalui telaah terhadap ciri-ciri Makkiyah atau Madaniyah. Antara lain apabila terdapat wahyu yang teknis tempanya
adalah Makki, namun terdapat
ciri-ciri Madani, maka dinamakan
surat atau ayat Madaniyah. Sebaliknya
bilamana suatu wahyu dengan teknis tempat Madani,
namun terdapat ciri-ciri Makki, maka
dinamakan ayat atau surat Makkiyah.[4]
Menuqil pendapat Subhi Shalih dan Az-Zarkasyi[5],
Abdurrahman menjelaskan ciri-ciri surat Makki
dan Madani. Berikut ciri-ciri
surat Makki:
1. Terdapat ayat sajadah di dalamnya.
2. Terdapat kata “kalla”, terdapat pada pertengahan hingga
akhir Al-Qur’an.
3. Terdapat seruan “ya ayyuha an-nas” dan tidak terdapat
seruan “yaa ayyuha al-ladzina amanu”.
Mengenai kasus pada surat Al-Hajj, masih terjadi polemik.
4. Terdapat kisah para nabi dan
kisah umat terdahulu, kecuali surat Al-Baqarah.
5. Terdapat kisah nabi Adam dan
Iblis, kecuali surat Al-Baqarah.
6. Terdapat potongan huruf
sebagai ayat di awal surat, kecuali pada surat Al-Baqarah dan Ali Imran. Mengenai
Ar-Ra’ad masih terjadi perdebatan.
Ciri-ciri surat surat Madani antara lain sebagai berikut:
1. Terdapat soal peperangan
serta penjelasan hukumnya.
2. Terdapat hukum hadd,
rampasan perang, hukum sosial, sipil dam hukum antar negara di dalamnya.
3. Terdapat uraian tentang
orang munafik. Kecuali Al-Ankabut. 11 ayat pertama Madani dan sisanya Makki.
4. Terdapat bantuan terhadap Ahlu al-Kitab dan seruan agar mereka mau
meninggalkan sikap berlebihan.
Dapat disimpulkan, beberapa
kriteria Makki di atas menggambarkan bahwa
fase Makkah sebagai fase Indzar (peringatan)
dimana fokus temanya adalah keimanan, gambaran hari akhir, surga, neraka dan
lainnya. Hal tersebut berpengaruh pada gaya bahasa yang cenderung menggiurkan
sebagai upaya pendekatan persuasif. Sementara fase Madani yang telah menyentuh pada ranah Risalah sehingga gaya bahasa yang digunaka cenderung lebih luas.[6]
Sementara
manfaat serta urgensi dalam mengetaui Makkiyah
dan Madaniyah sebagaimana ringkasan
berikut:
1. Membantu dalam menafsirkan
Al-Qur’an.
2. Pedoman bagi langkah-langkah
dakwah.
3. Memberi Informasi mengenai
sirah kenabian.[7]
C.
Kesimpulan
Bahwa dari uraian singkat di atas, fase Makki dan Madani merupakan salah satu aspek penting dalam partisipasi
interpretasi Al-Qur’an. Dimana ayat yang turun di masa sebelum dan sesudah
hijrahlah yang paling diunggulkan dalam penentuan serta klasifikasi dari
keduanya. Sedangkan definisi yang lain masih memiliki celah untuk dikatakan
sebagai sebuah definisi valid. Terlepas dari semua itu, penulis merasa sangat
bersyukur atas terselesaikannya artikel singkat guna menyelesaikan tugas Ulumul
Qur’an.
D.
Daftar Pustaka
Abdurrahman
(t.t.). Mengkaji Ilmu Al-Qur’an.
Malang: Q-press
al-Zarkasyi, Badruddin Muhammad bin
‘Abdullah (1957). Al- Burhan Fi ‘ Ulum
al-Qur’an. Juz I. Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah.
Al-Qaththan, Manna (2005). Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an.
Terjemahan oleh H. Anunur Rafiq
El-Mazni. Cetakan I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Anwar, Rosihon (2009). Pengantar Ulumul Quran. Cetakan I.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
[1]
Mahasiswa pasca sarjana Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam (IAI) Al-Qolam
Gondanglegi, Malang. E-Mail: syifaurromli19@alqolam.ac.id.
[2]
Abdurrahman, Mengkaji Ilmu Al-Qur’an,
(Malang: Q-press, t.t.), hal. 72. Sekalipun
definisi di atas merupakan salah satu opsi definisi yang diunggulkan oleh
As-Suyuthi sendiri dan mencantumkan pula definisi lain. Hal serupa disampaikan
oleh Az-Zarkasyi, hanya saja, Az-Zarkasyi mencantumkan definisi yang
diunggulkan oleh As-Suyuthi pada posisi ke dua dan juga diunggulkan. Lihat:
Badruddin Muhammad bin ‘Abdullah
al-Zarkasyi, Al- Burhan Fi ‘ Ulum
al-Qur’an, juz I (Dar al-Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah, 1957), hlm. 187.
[3] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran, cetakan I (Bandung: CV. Pustaka Setia,
2009), hal. 114. Selengkapnya lihat pada halaman: 116.
[4] Manna
Al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an. Terjemahan oleh H. Anunur
Rafiq El-Mazni, cetakan I (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005), hlm. 72-73.
[6] Abdurrahman, hal. 73-75.
[7] Manna Al-Qaththan, hlm. 71.
0 Response to "ARTIKEL FASE MAKKI DAN MADANI - ULUMUL QUR'AN"
Post a Comment